... Kain Benang Emas Sambas: Panduan Praktis untuk Teknik Sulaman dan Kerajinan Tangan

Seni Sulaman Tradisional - Kain Benang Emas Sambas dalam Dunia Kerajinan Tangan dan DIY

Dilihat dari bahan, proses pembuatan, dan harga, songket dahulu adalah kain mewah bagi para bangsawan yang menunjukkan kemuliaan dan martabat pemakainya. Namun sekarang, songket tidak lagi hanya dimaksudkan untuk kelompok masyarakat kaya saja, karena adanya variasi harga yang mencakup yang terjangkau dan murah hingga yang eksklusif dan mahal.

Penggunaan benang emas sintetis juga membuat harga songket tidak lagi sangat mahal seperti dahulu yang menggunakan emas asli. Meskipun begitu, songket berkualitas terbaik masih dihargai sebagai bentuk seni yang indah dan harganya tetap cukup mahal.

Sejak dahulu hingga sekarang, songket tetap menjadi pilihan populer untuk busana adat pernikahan masyarakat Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh, dan Bali. Kain ini seringkali diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita sebagai bagian dari hantaran pernikahan.

Saat ini, busana resmi laki-laki Melayu juga sering menggunakan songket sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sementara itu, bagi perempuan, songket biasa dililitkan sebagai kain sarung yang dikombinasikan dengan kebaya atau baju kurung.

Pembuatan songket merupakan kerajinan tangan yang banyak ditemukan di beberapa pulau di Indonesia, seperti Sumatra, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Lombok, dan Sumbawa.

Daerah-daerah terkenal untuk kerajinan songket antara lain Songket Minangkabau di Pandai Sikek dan Silungkang di Sumatra Barat, Songket Palembang di Palembang di Sumatera Selatan, desa Sidemen dan Gelgel di Klungkung, Bali, desa Sukarara di kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, dan luar negeri seperti Malaysia dan Brunei.

Sejarah Tenun Sambas

Dikutip dari warisanbudayatakbenda.kemdikbud.go.id, masyarakat Melayu Sambas mulai mengenal dan melakukan praktik menenun secara tradisional (baik teknik ikat maupun teknik songket) pada masa pemerintahan Raden Bima (sultan Sambas yang ke-2, memerintah tahun 1668-1708) yang bergelas Sultan Muhammad Tajudin menggantikan ayahandanya Raden Sulaiman bin Raja Tengah. Sejak masa itulah, menenun menjadi seni kerajinan dan diwariskan secara turun-temurun sampai sekarang.

Di masa Hindia Belanda, gairah menenun dan jumlah kain tenun yang dihasilkan cukup menggembirakan, hampir di setiap kampung ada perajin dan memiliki alat tenun sendiri. Pada saat itu, Raja Sambas mendapat hadiah berupa seperangkat alat mesin tenun dari Kesultanan Brunei, sehingga menginginkan masyarakatnya belajar menenun.

Di momen itu, proses menenun diajarkan kepada masyarakat yang berada di sekitar keratin. Dan, hingga saat ini tenunan Sambas ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar keratin Sambas.


Tags: benang

`Lihat Lagi
@ 2024 - Tenun Indonesia