"Seni Membuat Huruf Sunda - Keindahan dan Kreativitas"
Sejarah Aksara Sunda
Aksara Sunda konon sudah digunakan oleh masyarakat Jawa Barat sejak abad ke-14 hingga abad ke-18.
Perkembangannya terbilang cukup pesat pada masa tersebut.
Penemuan aksara Sunda berasal dari prasasti batu dan piagam naskah lontar, nipah, dan bambu di Jawa Barat.
Penemuan-penemuan ini tercatat dalam katalog naskah di tahun 1900-an.
Aksara Sunda memiliki sistem penulisan yang berbeda dengan alfabet biasa karena ditulis menggunakan huruf khusus.
Aksara ini memiliki tipe dasar aksara Pallawa Lanjut yang mirip dengan model aksara Tibet dan Punyab.
Carita Ratu Pakuan's (CRP) Model [ edit ]
- Phoenician alphabet
- Aramaic alphabet
- Brāhmī
- Pallava
- Old Kawi
- CRP Sundanese script
(Aksara Sunda CRP)
This type of script is found in one of the ancient Sundanese manuscripts entitled: Carita Ratu Pakuan. It is often used as a representation for the whole Old Sundanese script.
The Carita Ratu Pakuan manuscript comes from kropak 410 at the National Library of Indonesia (PNRI) which is now in the Sri Baduga Museum Bandung. This manuscript was written by "Kai Raga".
We can read Kai Raga's profile from Ratu Pakuan (1970) by Atja and Three Enchantments of Old Sundanese (2009) composed of J. Noorduyn and A. Teeuw. Based on the two books, Kai Raga is a hermit who lives around Sutanangtung, Mount Larang Srimanganti. This mountain is the ancient name of Mount Cikuray, Garut, today.
Through Pleyte's search and interpretation of Ratu Pakuan and the Three Enchantments of Old Sundanese, Kai Raga is thought to have lived in the early 18th century. Pleyte's search and interpretation is based on comparisons of the manuscripts he wrote with the Carita Waruga Guru manuscript which shows the similarity of the characters.
Kai Raga's writings and collections were passed down to his relatives. He himself did not leave any offspring. And, when Raden Saleh in 1856 searched for ancient relics at the initiative of the Batavian Society of Arts and Sciences (BGKW), Kai Raga's legacy manuscripts were handed over to the painter.
Carita Ratu Pakuan, as noted by Atja (1970), is divided into two parts. First, regarding the hermitages of the pohaci who will incarnate the daughters of the official candidates for the wife of Ratu Pakuan or Prabu Siliwangi. Second, regarding the story of Putri Ngambetkasih as the wife of Ratu Pakuan.
Apart from the Carita Ratu Pakuan Manuscript, other manuscripts that use a similar script are usually written on manuscripts that use palm leaf media, including: Kawih Panyaraman manuscript, Pakeling manuscript etc. Apart from being written on palm leaf media, similar characters were also written on bamboo media, including: Sanghyang Jati Maha Pitutur manuscript and Carita Waruga Guru manuscript.
Aksara Ngalagena
Aksara Ngalagena adalah simbol-simbol fonetik yang mewakili fonem konsonan dan juga dikenal sebagai aksara konsonan. Aksara ini merupakan kombinasi dari huruf-huruf yang membentuk suatu kata. Aksara Ngalagena terdiri dari 25 karakter, yaitu ka, ga, nga, ca, ja, nya, ta, da, na, pa, ba, ma, ya, la, wa, sa, ha, fa, va, qa, xa, za, kha, dan sya.
Dengan memahami jenis-jenis Aksara Sunda, kita dapat mengapresiasi lebih dalam keindahan dan makna yang terkandung dalam setiap goresannya, memelihara dan merayakan warisan ini untuk generasi mendatang.
Rarangkén: Komponen Pelengkap Aksara Ngalagena
Komponen ini berperan sebagai pelengkap dan pendamping untuk Aksara Ngalagena. Hal ini terjadi karena setiap karakter dalam Aksara Ngalagena selalu diikuti oleh huruf 'a'. Sebaliknya, Rarangkén memiliki variasi rangkaian kata dan kalimat yang menggunakan huruf vokal lainnya.
Ditinjau dari cara penulisannya, Rarangkén dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu Rarangkén di atas huruf, Rarangkén di bawah huruf, dan Rarangkén sejajar huruf.
a. Rarangkén di atas huruf
Panghulu: mengubah 'a' menjadi 'i' (ka menjadi ki)
Pamepet: mengubah 'a' menjadi 'e' (ka menjadi ke)
Paneuleung: mengubah 'a' menjadi 'eu' (ka menjadi keu)
Panglayar: menambah 'r' di akhir suku kata (ka menjadi kar)
Panyecek: menambah 'ng' di akhir suku kata (ka menjadi kang)b. Rarangkén di bawah huruf
Panyuku: mengubah 'a' menjadi 'u' (ka menjadi ku)
Panyakra: menambah 'r' di tengah suku kata (ka menjadi kra)
Panyiku: menambah 'l' di tengah suku kata (ka menjadi kla)c. Rarangkén sejajar huruf
Panéléng: mengubah 'a' menjadi 'é' (ka menjadi ké)
Panolong: mengubah 'a' menjadi 'o' (ka menjadi ko)
Pamingkal: menambah 'y' di tengah suku kata (ka menjadi kya)
Pangwisad: menambah 'h' di akhir suku kata (ka menjadi kah)
Patén atau Pamaéh: Memutus huruf 'a' dalam suku kata (ka menjadi k)
6 Jenis Aksara Yang Digunakan Orang Sunda Dulu Hingga Sekarang
Demikian pula dari bahasa yang digunakan oleh masyarakat sunda dahulu ada beberapa macam seperti Bahasa Sangsekerta, Bahasa sunda (kuno dan baru), Bahasa Jawa (kuno, cirebon, banten, dan priangan), Bahasa Melayu, Bahasa Arab, dan Bahasa Belanda.
Para ahli paleografi umumnya berpendapat bahwa aksara atau lulisan yang digunakan yang berkembang diwilayah nusantara termasuk juga yang ada di jawa barat bahkan di Semenanjung, Malaya, Muangthai Selatan, Kamboja, dan Vietnam Selatan, secara tipologis dapat dilacak awal mulanya dari aksara prasasti raja-raja dinasti pallawa di India selatan pada abad ke-4 yang berbahasa Sangsekerta.
Pada dasarnya pengaruh aksara-aksara tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga tipe utama, yang diantaranya yaitu:
1. Early Pallawa (Palawa Awal) yang mengacu pada model calukya dan wenggi. 2. Later Pallawa (Palawa Lanjut) yang mengacu kepada model Pali (Ava dan Siam) dan model Kamboja. 3. Pra-Nagari yang mengacu kepada model Dewa Nagari dan Nepal.Aksara tipe Pallawa Awal yang ditemukan di jawa barat (tatar pasundan) digunakan dalam prasasti zaman Tarumanegara, seperti pada Prasasti Kebon kopi, Ciaruteun, Jambu, dan Tugu. Sedangkan Aksara tipe Palawa Lanjut digunakan dalam prasasti antara abad ke-6 hingga ke-8, antara lain terlihat pada prasasti Tuk Mas dan Prasasti Canggal yang diketahui merupakan teks terakhir yang ditulis dengan aksara palawa di indonesia dan berasal dari jawa tengah.
√ Wujud Aksara Sunda Dasar dan Baku Beserta Penulisannya
Dan sekarang, salah satu aksara yang digunakan dan sekaligus menjadi bahan pembelajaran di sekolah serta dijadikan salah satu identitas keberadaan budaya Sunda adalah “Aksara Sunda” ( tanpa akhiran Kuno/Kuna ). Seperti pada pembahasan sebelumnya, bahwa aksara Sunda merupakan aksara hasil dari kreatifitas dan kearifan lokal masyarakat Sunda yang mendapat pengaruh dari aksara Pallawa India.
Aksara Sunda Dasar
Aksara Sunda yang pernah digunakan jaman dahulu dapat dibedakan atas beberapa variasi sesuai dengan bahan tulisannya yang berbeda-beda, misalnya seperti yang tertulis pada batu, logam, daun, kertas saeh, pahat, palu, paku, pisau, pena, tinta, dan cara menulisnya pun langsung dengan menggunakan tangan, sehingga aksara sunda bersifat individual .
Masa pemakaiannya berlangsung lama sekitar 400 tahun, tingkat kecerdasan dan pengetahuan masyarakatnya berlainan, dan wilayah pemakaiannya cukup luas hampir seluruh Jawa Barat. Dalam hal ini, bentuk dan kelengkapan (ejaan) aksara Sunda yang ditulis pada batu dan logam, prasasti menunjukkan beberapa perbedaan dengan aksara Sunda yang ditulis pada daun (naskah).
Aksara Sunda yang ditulis pada naskah menggunakan alat tulis pisau (peso pangot) mengandung perbedaan dengan aksara yang ditulis menggunakan alat tulis seperti pena dan tinta, begitu pula bentuk aksara dan ejaannya yang ditulis pada prasasti Kawali pada abad ke-14 memiliki perbedaan dengan naskah yang ditulis abad ke-16 Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang merupakan Pedoman Masyarakat Sunda dahulu.
Berdasarkan kelengkapan aksara konsonan, vokal, penanda vokal, angka, sistem pengaksaraan, dan kepraktisan pemakaiannya, saat ini model aksara Sunda yang ditulis pada naskah (daun, kertas saeh, pada abad ke-16 sampai ke-18) ditentukan sebagai Aksara Sunda Dasar bagi pemenuhan Peraturan Daerah nomor 6 tahun 1996 tentang “pengembangan aksara sunda”.
Tags: kerajinan - CRP Sundanese script
- Old Kawi
- Pallava
- Brāhmī
- Aramaic alphabet