"Seni Membuat Huruf Sunda - Keindahan dan Kreativitas"
2. Aksara Jawa Kuno
Aksara Jawa Kuno pada dasarnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Palawa Lanjut yang mengacu kepada model aksara Pali yang berkembang sejak pertengahan abad ke-8 hingga abad ke-13 dan banyak ditemukan sebagai tulisan pada prasasti di Jawa Timur, seperti pada prasasti Dinoyo dan Prasasti Sukabumi dekat Kediri yang sekaligus dipandang sebagai prasasti pertama yang menggunakan bahasa Jawa Kuno.
Aksara Jawa Kuno digunakan juga di Jawa Barat seperti pada Prasasti Sanghyang Tapak, teks prasasti ini berbahasa Jawa Kuno dan dipahatkan pada empat buah batu (Kode: D.73, D.96, D.97, dan D.98) yang ditemukan dari aliran Sungai Cicatih dan Bukit Pangcalikan, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Selain itu ada Prasasti Batutulis di Bogor dan Prasasti Hulu dayeuh di Cirebon yang ditulis menggunakan Bahasa Sunda, Prasasti Kebon kopi II yang berbahasa Melayu Kuno, dan prasasti Mandiwunga yang berbahasa Jawa Kuno ditulis dengan menggunakan aksara Jawa Kuno. Jadi, penggunaan jenis aksara ini di Jawa Barat tidak banyak dan bentuk aksaranya diambil sepenuhnya dari hasil kreasi masyarakat Jawa.

5. Aksara Cacarakan (Sunda-Jawa)
Aksara Cacarakan sebenarnya merupakan aksara yang diadopsi masyarakat Sunda dari aksara Jawa Modern yang biasa disebut Carakan berdasarkan urutan abjad aksara “ha-na-ca-ra-ka-da-dst“. Istilah cacarakan itu sendiri apabila dilihat dari sudut tata bahasa Sunda merupakan kata bentukan yang berdasarkan proses reduplikasi dengan dwipurwa yang ditambah akhiran -an. Proses dwipurwa dapat menimbulkan tiga pengertian, yaitu:
(1) Menunjukkan “Saling” (Misalnya sasalaman, yang artinya saling bersalaman).
(2) Menunjukkan “Intensitas” (Misalnya leuleumpangan, yang artinya berjalan terus-menerus).
(3) Menunjukkan “Peniruan” (Misalnya gugunungan, yang artinya dibentuk seperti gunung.
Keadaan ini bisa disaksikan pada naskah-naskah dari sekitar pertengahan abad ke-19. Pada masa itu, naskah-naskah Sunda banyak yang ditulis dengan menggunakan aksara Pegon. Pada masa itu, naskah-naskah Sunda dapat dibedakan antara naskah yang dihasilkan oleh para penulis keluaran sekolah (pemerintah) dan naskah yang ditulis oleh kalangan pesantren.
“Naskah yang ditulis dengan aksara Pegon hampir dapat dipastikan muncul dari kalangan pesantren, sedangkan naskah yang ditulis dengan aksara Cacarakan muncul dari kalangan “menak” terpelajar.
Dalam perkembangan selanjutnya, aksara Cacarakan digunakan dalam surat-menyurat administrasi pemerintahan. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam surat-surat kepemilikan suatu lahan yang dikeluarkan sekitar awal abad ke-20. Meskipun pemakaian jenis aksara ini cukup meluas, namun dari segi bentuk aksara Cacarakan itu sama dengan aksara Carakan, jadi hasil kreasi orang Sunda sendiri sedikit sekali, hanyalah berupa pengurangan 2 lambang konsonan (dh, th) dan penambahan lambang penanda bunyi (eu).

Tags: kerajinan