Kerajinan Tangan Jawa Barat - Keindahan Seni Sulam dan Kreativitas DIY
Payung Geulis
Payung geulis adalah souvenir khas dari daerah Tasikmalaya. Payung ini digunakan digunakan dalam berbagai acara seni tradisional di Jawa Barat. Payung ini juga seringkali digunakan sebagai dekorasi ruangan. Bahkan pada tahun 1926 para noni Belanda banyak yang menggunakan payung ini.
Geulis dalam bahasa Sunda berarti “cantik” sehingga payung geulis memiliki arti payung cantik. Payung geulis terbuat dari bahan kertas dan kain yang bermotif. Motifnya terbagi menjadi dua macam yaitu motif geometris dan non geometris.
Pada motif geometris gambar yang menonjol adalah gambar garis lurus, lengkung, dan patah-patah. Sedangkan motif non geometris menonjolkan gambar seperti manusia, tumbuhan, ataupun manusia. Rangka dari payung ini terbuat dari bambu.
Untuk menambah kesan menarik bagian dalam payung diberi benang warna-warni. Namun payung ini mengalami penurunan peminat pada tahun 1955 hingga 1968. Pada saat itu Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka.
Dengan begitu produk-produk luar negeri dapat masuk ke Indonesia termasuk produk payung import. Hal ini menggeser posisi payung geulis dan membuat pengrajin payung geulis mengalami kebangkrutan.
Mengetahui hal pemerintah kota Tasikmalaya tidak tinggal diam. Para pengrajin diberi bantuan berupa peralatan dan bahan untuk meningkatkan kualitas produk payung geulis mereka.
Payung geulis pun berangsur-angsur mulai kembali diminati pada tahun 1980 an. Hingga saat ini belum ada inovasi maupun modifikasi terhadap payung geulis sehingga bentuk payung ini masih sangat asli.
Kawa daun Pariangan
Kawa daun biasa disajikan dalam tempurung kelapa dibelah dua menyerupai mangkuk, mengingat zaman dahulu tidak tersedia gelas sebagai tempat minum. Kawa daun juga dapat dinikmati dengan gula dan berbagai kudapan.
Pariangan yang berada di lereng Gunung Marapi, Kabupaten Tanah Datar, merupakan salah satu tempat untuk mencoba minuman kawa daun. Untuk membuat kawa daun, daun kopi dikeringkan dan dijadikan bubuk untuk kemudian diseduh.
Prof. Gusti menjelaskan bahwa masyarakat Minangkabau sejak awal memang tidak mengonsumsi biji kopi untuk minuman. Baru pada akhir abad ke-18, seorang saudagar dari Amerika datang dan membeli biji kopi. Kejadian ini akhirnya menyadarkan masyarakat bahwa biji kopi memiliki nilai tinggi daripada yang mereka kenal sebelumnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Tags: kerajinan tangan jawa