Mengurai Kekusutan dalam Seni Jahit dan Kerajinan Sendiri - Panduan dan Tips Berguna
Pendidikan untuk Semua: Idealita vs. Realita dalam Sekolah Inklusi
Tak hanya sebatas momentum Hari Pendidikan Nasional saja, peringatan down syndrome internasionaljuga menjembatani perihal kesetaraan pendidikan. Direktur Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdas Dikmen), Dr. Iwan Syahril, Ph.D., (14/3) tahun lalu, memberikan sebuah statement “Sekolah hadir memberikan kesetaraan hak bagi setiap anak dan menghadirkan pembelajaran yang mengakomodir semua peserta didik termasuk bagi penyandang disabilitas.”
Sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, satuan pendidikan harus mengembangkan kurikulum berdasarkan prinsip diversifikasi. Dalam konteks pendidikan inklusif, hal ini berarti memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik, baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial maupun yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Hal ini tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 56/M/2022, yangmenguraikan pedoman implementasi kurikulum dalam Kerangka Pemulihan Pembelajaran. atau keterampilan khusus untuk mendapatkan pendidikan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.Demikian, APBN yang menjadi jatah pendidikan sudah sepatutnya dimaksimalkan untuk menunjang proses belajar-mengajar PDBK (Peserta Didik Berkebutuhan Khusus).
Namun sangat disayangkan, adanya sekolah inklusi ini belum benar-benar dapat mendukungperkembangan akademik maupun non akademik PDBK. Adanya kebijakan Direktur Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional dengan motif menyetarakan pendidikan, kenyataannya tidak diimbangi dengan pemenuhan sarana & prasarana yang memadai. Banyak pihak sekolah inklusi yang mengeluh karena kurangnya pembekalan untuk pendampingan PDBK, fasilitas seperti akses menuju ruang kelas lantai atas yang tidak ramah disabilitas, termasuk Kurikulum Merdeka saat ini, para guru dituntut untuk bisa mengelompokkan anak sesuai dengan kemampuan belajarnya. Anak kinestetik tentu berbeda cara belajarnya dengan anak audio, berbeda lagi dengan anak visual. Peserta didik ABK karakteristik autis sering kali bertingkah yang mengundang perhatian peserta didik lain. Baik itu duduk didepan, dibelakang atau ditengah, sehingga proses pembelajaran di kelas tidak berjalan dengan baik. Lingkungan sosial yang tidak mendukung emosional ABK, kurangnya keterbukaan siswa-siswi terhadap peserta didik ABK sehingga cenderungmelakukan bullying maupun diskriminasi karena menganggap ABK

Dampak Disorganisasi Sosial bagi Masyarakat
Dampak disorganisasi sosial itu luas, mulai dari masalah pribadi hingga masalah sosial yang lebih besar. Misalnya, tingginya tingkat kejahatan, penyalahgunaan obat-obatan, dan pengangguran. Hal ini bukan hanya merugikan individu, tapi juga merusak struktur masyarakat secara keseluruhan.
Ketika norma dan nilai-nilai sosial mulai pudar, kita juga melihat peningkatan konflik antarkelompok. Ketegangan rasial, agama, dan etnis bisa memanas, memperburuk keadaan. Ini bukan hanya tentang statistik, tapi tentang kehidupan nyata orang-orang yang terkena dampaknya.
Di sisi lain, dampak jangka panjangnya bisa lebih serius, seperti ketidakpercayaan terhadap institusi, penurunan kualitas pendidikan, dan bahkan penurunan kesehatan mental masyarakat. Ini adalah lingkaran setan yang sulit dipecahkan dan membutuhkan pendekatan komprehensif untuk mengatasinya.
Studi Kasus: Contoh Disorganisasi Sosial
Salah satu contoh nyata disorganisasi sosial bisa kita lihat di beberapa kota besar, di mana urbanisasi yang cepat dan ketidaksetaraan ekonomi menciptakan kondisi ideal untuk disorganisasi. Di sini, kita sering melihat peningkatan tingkat kejahatan, ketidakstabilan keluarga, dan pengangguran.
Di Indonesia sendiri, kita bisa melihat gejala serupa di kota-kota besar. Urbanisasi yang cepat, ketidaksetaraan, dan tekanan sosial-ekonomi sering kali menciptakan kondisi yang memicu disorganisasi sosial. Ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana kita harus mengelola perkembangan kota dan masyarakat kita.

Memahami Mekanisme Berpikir
Dengan memahami mekanisme mendasar kesalahan berpikir dan melibatkan penalaran yang kritis tersebut, seseorang akan dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat keputusan dan menjauhkan dari penarikan kesimpulan yang keliru.
Dengan demikian, penting untuk terus memperkaya pemahaman dalam literasi mantiq dan logika agar mampu mengurai benang kusut dalam berpikir dan meningkatkan kualitas penalaran dalam setiap aspek kehidupan.
Benar, kesalahan berpikir merupakan bagian manusiawi yang wajar. Namun, melalui kesadaran dan pembelajaran yang terus-menerus diasah dan diperbaiki, seseorang dapat mengatasi tantangan ini dan mendorong terwujudnya hasil kesimpulan yang lebih rasional dan solutif.
Safna Faradish Mei D. Aliek, Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Misteri Pembunuhan Vina: Mengurai Benang Kusut Kompleksitas Sosial dalam Penegakan Hukum
BANTEN, biem.co – Kasus Vina kembali menjadi sorotan. Kasus tragis kematian dua remaja asal Cirebon ini masih menyisakan tanda tanya.
Kasus pembunuhan Vina mencerminkan kompleksitas dan dinamika sosial yang ada dalam penanganan kasus kriminal di masyarakat.
Semakin banyak informasi yang muncul, semakin besar perhatian dan tekanan publik terhadap pihak berwenang untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Lalu bagaimana kelanjutan kasus ini?
Tags: benang