Mengurai Kekusutan dalam Seni Jahit dan Kerajinan Sendiri - Panduan dan Tips Berguna
Membongkar Kesalahpahaman tentang Kasta di Bali
Sekitar tahun 2003 silam, saya dan beberapa teman diundang ikut diskusi terbatas untuk membahas draf buku ini bersama penulisnya, Made Kembar Kerepun. Diskusi dengan teman-teman muda di Bali ini semacam pra-peluncuran buku.
Saat itu, untuk pertama kali saya tahu tentang kesalahpahaman tentang kasta ini meski hanya sedikit.
Karena itu, saya senang ketika akhirnya saya mendapatkan buku ini. Saya bisa membaca buku yang membedah tentang kasta di Bali ini.
Majapahitisasi
Dari judulnya saja, buku ini sudah amat jelas. Ada dua pesan utama yang saya tangkap dari judul tersebut. Pertama, penulisnya menganggap isu kasta di blai serupa benang kusut. Sesuatu yang ruwet dan kompleks. Pesan kedua, penulis buku ini berusaha membongkar bagaimana sistem kasta itu coba dilestarikan di Bali.
Begitulah penulis buku ini, Made Kembar Kerepun, membahas isu kasta dalam buku terbitan Penerbit Panakom, Denpasar April 2007 ini. Made Kembar Kerepun, yang sudah almarhum, membedah isu kasta dalam 10 bab dan 308 halaman buku ini.
Bab tersebut antara lain (1) Benang Kusut Nama dan Gelar Bangsawan di Bali, (2) Belanda Kembali Hidupkan Kasta, (3) Ketidakadilan Bangkitkan Perlawanan, (4) Kiat-kiat Pengajegan Kasta, dan (5) Ranjau-ranjau Bagi Triwangsa.
Saya sih tak hanya menangkap pesan “kegeraman” penulis terhadap masalah kasta tapi juga upayanya untuk membedah dan menjelaskan bahwa sistem kasta itu sebuah kesalahpahaman yang harus dibongkar.
Kesalahpahaman terbesar, menurut Kerepun, adalah anggapan bahwa kasta itu tradisi Bali sehingga harus dilestarikan. Menggunakan berbagai arsip sejarah, termasuk lontar zaman kerajaan Bali kuno sebelum Majapahit dan buku-buku pada zaman kolonial Belanda, Kerepun menunjukkan bahwa Bali dulunya tak mengenal kasta.
Dampak Disorganisasi Sosial bagi Masyarakat
Dampak disorganisasi sosial itu luas, mulai dari masalah pribadi hingga masalah sosial yang lebih besar. Misalnya, tingginya tingkat kejahatan, penyalahgunaan obat-obatan, dan pengangguran. Hal ini bukan hanya merugikan individu, tapi juga merusak struktur masyarakat secara keseluruhan.
Ketika norma dan nilai-nilai sosial mulai pudar, kita juga melihat peningkatan konflik antarkelompok. Ketegangan rasial, agama, dan etnis bisa memanas, memperburuk keadaan. Ini bukan hanya tentang statistik, tapi tentang kehidupan nyata orang-orang yang terkena dampaknya.
Di sisi lain, dampak jangka panjangnya bisa lebih serius, seperti ketidakpercayaan terhadap institusi, penurunan kualitas pendidikan, dan bahkan penurunan kesehatan mental masyarakat. Ini adalah lingkaran setan yang sulit dipecahkan dan membutuhkan pendekatan komprehensif untuk mengatasinya.
Studi Kasus: Contoh Disorganisasi Sosial
Salah satu contoh nyata disorganisasi sosial bisa kita lihat di beberapa kota besar, di mana urbanisasi yang cepat dan ketidaksetaraan ekonomi menciptakan kondisi ideal untuk disorganisasi. Di sini, kita sering melihat peningkatan tingkat kejahatan, ketidakstabilan keluarga, dan pengangguran.
Di Indonesia sendiri, kita bisa melihat gejala serupa di kota-kota besar. Urbanisasi yang cepat, ketidaksetaraan, dan tekanan sosial-ekonomi sering kali menciptakan kondisi yang memicu disorganisasi sosial. Ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana kita harus mengelola perkembangan kota dan masyarakat kita.
Tags: benang