Menghiasi Karya Seni - Keindahan Sulam Benang Emas dalam Kerajinan Tangan dan DIY
Seni tekat
Rencana ini memerlukan petikan dan rujukan tambahan untuk pengesahan. Sila bantu memperbaiki rencana ini dengan menambahkan petikan ke sumber-sumber yang boleh dipercayai. Bahan yang tidak disahkan mungkin akan dipertikai dan dipadam.
Cari sumber: "Seni tekat" – berita · akhbar · buku · sarjana · JSTOR (Ketahui cara dan masa untuk membuang pesanan templat ini)
Seni tekat, seni sulam atau bersuji merupakan kerja mengait benang emas (menekat atau menyulam) ke atas kain dasar lazimnya yang jenis baldu).dikenali juga dengan nama . Menekat Kerja-kerja menekat memerlukan pemidang untuk meregangkan kain baldu, mempulur sebagai acuan motif dan benang emas untuk membentuk bunga tekat. [1]
Sejarah [ sunting | sunting sumber ]
Asal-usul dan perkembangan tekat secara langsung dikaitkan dengan kegunaan pakaian dan kelengkapan keluarga raja-raja atau istana. Perkembangan awal seni tekat dapat dikesan pada awal kurun ke-15, iaitu semasa zaman keagungan Sultan Melayu Melaka. Kesan penggunaan sulaman dapat dilihat di kalangan masyarakat Cina yang keturunan Baba Melaka. Mereka menggunakan sulaman tekat untuk pakaian-pakaian mereka.
Hingga ke hari ini seni tekat masih dihasilkan oleh rakyat negeri Perak Darul Ridzuan dan Negeri Sembilan Darul Khusus. Negeri Perak Darul Ridzuan merupakan negeri yang banyak sekali mengusahakan kraf seni tekat timbul benang emas. Terdapat beberapa jenis tekat yang dikerjakan oleh pandai tukang menekat. Antaranya ialah tekat timbul benang emas, tekat gubah dan tekat perada.
Tekat terus berkembang dengan hasil mutunya yang terjamin.
Sulaman Koto Gadang
Sulaman Koto Gadang adalah teknik kerajinan tangan menghias kain dengan benang yang dikerjakan secara tradisional oleh masyarakat Koto Gadang, salah satu nagari di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Sulaman ini dihasilkan dari pengetahuan masyarakat Koto Gadang dalam membentuk jalinan benang di atas kain yang diwariskan secara turun-temurun. Pengerjaannya sama sekali tidak menggunakan teknologi mesin, melainkan menggunakan peralatan sederhana dan bergantung pada keterampilan tangan. [1]
Di antara teknik sulaman Koto Gadang yang masih digunakan saat ini yakni teknik sulaman "suji caia" dan "kapalo samek". Sulam suji caia menampilkan permainan gradasi warna benang yang saling menyatu (bahasa Minang: caia, artinya cair) sehingga menghasilkan bentuk bunga yang tampak hidup. [4] Adapun sulam kapalo samek (dari bahasa Minang, artinya kepala peniti) karena dalam pembuatannya benang dikait dan ditarik sampai ujung peniti sehingga menghasilkan bentuk bulat di atas kain. [5]
Pengetahuan dan keterampilan membuat sulaman Koto Gadang diwariskan secara turun-temurun, umumnya dari ibu ke anak perempuan. Saat ini, masih banyak ditemukan perempuan Koto Gadang yang menekuni sulaman dan bahkan menjadikannya sebagai mata pencaharian tambahan. Kekhasan sulaman Koto Gadang terletak dari proses pembuatan, motif, dan detail pengerjaan. Oleh karena itu, sulaman ini memiliki nilai jual yang relatif tinggi, hingga mencapai jutaan rupiah per helainya. [6] [7] Namun, rumitnya pengerjaan membuat sulaman Koto Gadang bisa membutuhkan waktu penyelesaian hingga dua bulan. [8]
Hasil [ sunting | sunting sumber ]
Selendang bersulam termasuk pakaian adat yang dipakai oleh seorang perempuan Koto Gadang. Pemakaian motif, warna, dan bahan selendang yang digunakan disesuaikan dengan status dan usia wanita yang memakai. Untuk wanita muda, biasanya wama yang dipakai adalah warna terang seperti merah dan motifnya agak rapat sehingga bahan dasar kain terlihat sedikit saja. Adapun bagi wanita yang sudah bekeluarga, kain yang digunakan yakni berwarna tua seperti nila atau hijau dan motif yang agak jarang. [36] [2]
Menurut penelitian Ernatip dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang, masyarakat Koto Gadang saat ini banyak menekuni sulaman dan menjadikannya sebagai suatu pekerjaan yang menghasilkan uang. Selendang bersulaman Koto Gadang termasuk sulaman yang sangat halus dan rapi bila dibandingkan dengan sulaman daerah lain sehingga harga selendang bersulaman Koto Gadang relatif lebih mahal. [37] [12] Pada saat ini, selendang sulaman suji caia dijual seharga Rp2.000.000 sampai Rp2.500.000 per helai, sedangkan selendang sulaman kapalo samek dijual dengan harga Rp1.750.000 hingga Rp2.250.000 per helai. [12] [7] Namun, karena dikerjakan oleh tenaga manusia, pengerjaan sulaman Koto Gadang membutuhkan waktu yang lama. Untuk satu helai kain sulaman Koto Gadang membutuhkan waktu penyelesaian setidaknya dua bulan. [a]
Selendang sulaman Koto Gadang sudah terkenal sampai ke mancanegara. Pengenalan selendang sulaman Koto Gadang ke dunia luar terus dilakukan, terutama oleh pengrajin itu sendiri. Berbagai pameran baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional ikut menampilkan selendang sulaman Koto Gadang sebagai produk kerajinan unggulan. [38] [7] [37] Dikenalnya sulaman Koto Gadang oleh masyarakat luas secara tidak langsung memberi peluang bagi pengrajin sulam untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak. [39]
Dalam gelaran Festival Sulam Bordir di Jakarta pada 2012, ditampilkan karya selendang sulam sepanjang 20 meter yang menggunakan berbagai jenis teknik sulam dari Sumatera Barat, termasuk sulam suji caia dan kepalo samek dari Koto Gadang. Selendang tersebut mendapatkan penghargaan sebagai sulam terpanjang di dunia dari Museum Rekor Indonesia (MURI). [40] [41]
Tags: benang sulam