"Telung Benang Bahasa Bali - Warisan Budaya yang Kaya"
Otonan : Filosofi, sarana, fungsi, dan makna upacara otonan
BALINESECULTURE – Di Bali, banyak memiliki upacara keagamaan (upacara yadnya). Salah satu upacara yadnya di Bali adalah otonan. Berikut ini kami akan membahas otonan meliputi: filosofi upacara otonan, bentuk sarana upacara otonan, serta fungsi dan makna upacara otonan.
Dalam ajaran agama hindu terlahir menjadi manusia dipercaya masih memiliki karma wasana kehidupan di masa lampau. Kelahiran menjadi manusia dipengaruhi oleh 3 kekuatan yakni Sabda, Bayu, dan Idep atau yang dikenal dengan istilah tri pramana. Sabda adalah kekuatan Suara, Bayu adalah kekuatan nafas, dan Idep adalah kekuatan pikiran (akal). Otonan ini merupakan hari kelahiran bagi umat hindu yang dilaksanakna setiap 210 hari atau 6 bulan sekali, Jatuhnya otonan bertepatan dengan Sapta Wara, Panca Wara dan Wuku yang sama. Pelaksanaan Upacara Otonan di laksanakan dengan menggunakan banten otonan yang dalam agama hindu terdapat beberapa tingkatan dalam melaksanakan upacara yaitu Uttama, Madya, dan Nista, namun aspek kespiritualan dalam pelaksanaannya dilihat dari niat suci dan kepercayaan dalam melaksanakan upacara otonan tersebut.
Fungsi dan makna Upacara Otonan
Upacara Otonan/Pawetonan merupakan upacara yang termasuk sakral,sehingga upacara otonan/pawetonan memiliki fungsi dan makna tertentu.
Manawa Dharmasastra.III.69
Tasam kramena sawasam niskrtyasham maharsibhih, Panca klrpa mahayajñah pratyaham grhamadhinam
Artinya:
(1) Upacara otonan/ pawetonan memiliki nilai dasar kelepasan (moksa) Hari pawetonan adalah hari kelahiran seseorang ke dunia, itu berarti jalan akhirat yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi kepada roh untuk lahir ke duma, untuk memperbaiki karma wasana yang terdahulu rnenjadi lebih baik, supaya ikatan Karrnawasananya makin berkurang dan akhirnya hilang.
Dalam Puja Pitra,Koleksi Ida Pedanda Gede Pemaron dijelaskan bahwa perjalanan roh untuk mencari sorga sangatlah rumit, karena ketergantungan dengan karmanya disaat hidupnya di dunia. Maka dari itu selama hifdup didunia jangan henti-hentinya untuk berbuat kebajikan termasuk pelaksanaan upacara Pawetonan karena memiliki kekuatan magis sebagai pembuka jalan bagi roh yang sedang menuju kehadapan Sang Pencipta.
(2) Upacara otonan/pawetonan sebagai pembayaran hutang (Rna) dan peleburan dosa
Dalam ajaran agama kita mengenal ajaran tentang ajaran “Tri Rna”, maka dari salah satunya yang paling erat hubungannya dengan pelaksanaan upacara pawetonan adalah pembayaran hutang kehadapan para leluhur (Pitra Rna). Sesuai dengan kepercayaan agama Hindu yang dilandasi oleh ajaran “Panca Srada”. Pembayaran utang disini mengandung pengertian bahwa orang lahir di suatu keluarga menurut pandangan dan kepercayaan ajaran agama Hindu, yang ikut lahir (reinkarnasi) adalah dewa pitara (roh suci leluhur) yang tetap menuntut kewajiban kepada sentananya, agar selalu berkarma yang baik. Karma yang baik tersebut akan dapat mempengaruhi dalam peleburan dosa bagi manusia itu sendiri, demikian juga akan memberikan pengaruh terhadap para roh leluhurnya. Sehingga manusia ditekankan selalu berbuat yang berdasarkan kejujuran serta keiklasan dan ketulusan hati.
Kruna lingga yang menggunakan pengater
Ilustrasi kruna lingga yang mendapatkan pengater. (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)
Pengater adalah Bahasa Bali yang berarti awalan. Yaitu imbuhan yang diletakkan di depan kata dasar. Bahasa Bali terdapat beberapa awalan atau pengater yaitu ma, ka, sa, pa, pi, a, pra, pari, pati, make, saka, dan kuma.
Contoh kruna tiron yang sudah mendapatkan pengater:
- Kruna lingga saut (jawab) mendapatkan pengater pa menjadi pesaut (jawaban)
- Kruna lingga tutur (tutur kata) mendapatkan pengater pi menjadi pitutur (nasihat)
- Kruna lingga gagah (gali) mendapatkan pengater ka menjadi kagagah (digali)
- Kruna lingga jaum (jarum) mendapatkan pengater kuma menjadi kumajaum (peribahasa yang berarti bulu yang baru tumbuh)
- Kruna lingga jani (saat ini) mendapatkan pengater pra menjadi prajani (saat ini juga)
- Kruna lingga jalan (jalan) mendapatkan pengater ma menjadi majalan (berjalan).
Kruna wilangan tan janten
Ilustrasi pasir pantai. (Unsplash.com/Kunj Parekh)
Kruna wilangan tan janten adalah kata bilangan yang menunjukkan jumlah benda yang tidak bisa dihitung. Oleh karena itu, kruna wilangan tan janten ini ditulis dalam kata, bukan berbentuk angka.
Contoh Kruna wilangan tan janten:
- Liu artinya banyak
- Abedik atau bedik artinya sedikit
- Aketek artinya sedikit
- Agetul artinya satu celupan
- Adesa artinya satu desa atau menunjukkan jumlah yang banyak
- Akikit artinya sedikitpun
- Apaso artinya satu jembung atau panci
- Bek artinya banyak
- Begeh artinya banyak.
Balinese numerals
The Balinese language has an elaborate decimal numeral system.
The numerals 1–10 have basic, combining, and independent forms, many of which are formed through reduplication. The combining forms are used to form higher numbers. In some cases there is more than one word for a numeral, reflecting the Balinese register system, halus (high-register) forms are listed in italics.
Final orthographic -a is a schwa [ə]. [1] [2]
* A less productive combining form of a- 1 is sa-, as can be seen in many of the numbers below. It, ulung-, and sangang- are from Javanese. Tiga 3 is from Sanskrit trika. Dasa 10 is from Sanskrit daśa.
Tags: benang