Seni dan Kreativitas - Memahami Keindahan Gelang Kain Tenun dalam Kerajinan Tangan dan DIY
Pakaian Daerah Suku Dawan
Kental akan budaya yang diwariskan secara turun temurun, Suku Dawan mempunyai pakaian daerah atau pakaian adat yang masih sering digunakan hingga saat ini. Busana yang dimiliki oleh suku yang menempati Pulau Timor tersebut disebut baju amarasi. Berbeda dari busana daerah lainnya, baju amarasi mempunyai aksesoris yang cukup banyak ketika digunakan.
Untuk kaum pria berupa selimut dari tenun ikat, baju bodo, ikat kepala dengan tambahan hiasan tiara, kalung habas berbandung gong, serta gelang timor dan mutik salak. Sementara untuk para wanita menggunakan kain berbentuk sarung tenun, ditambahkan selendang penutup dada, hiasan kepala berbentuk tusuk konde dengan koin, gelang kepala ular, dan sisir emas.
Lebih Dekat dengan Tenun Ikat Amarasi
Nama pakaian daerah NTT, amarasi, sering dipakai sebagai salah satu belis atau mas kawin dalam upacara perkawinan. Bukan hanya itu saja, namun masyarakat juga memakainya sebagai pakaian sehari hari sampai kain penutup jenazah. Sebab kain tenun tersebut dapat menjadi pemberi identitas status sosial dari pemakainya.
Sehingga bagi masyarakat Suku Dawan, tenun ikat amarasi bukan hanya sebagai kebutuhan ekonomi, melainkan pula sosial dan budaya. Umumnya, tenun ikat ini masih menggunakan pewarnaan alami dari bahan bahan alam. Adapun salah satu bahan pewarna alami yang sering digunakan adalah daun kacang arbila, yang menghasilkan warna hijau.
Pewarnaan alami seperti itu mampu bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan melebihi tenun ikat yang menggunakan pewarnaan sintetik. Untuk ragam hiasnya, tenun ikat amarasi memiliki tampilan yang dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat. Motif tenun tersebut bukan hanya sebatas kreasi seni, tapi juga mengandung sebuah arti serta cerita tersendiri.
Ciri Khas Tenun Gringsing
Sebagai catatan, menurut para ahli kain dan tekstil dunia, Kain tenun Gringsing termasuk kain tenun yang langka. Hanya ada 3 tempat di dunia ini yang mengusai teknik menenun Gringsing, yaitu India, jepang, dan Tenganan (Indonesia).
Seorang pakar kain bernama Urs Ramseyer (1984) yang menulis buku berjudul Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, menduga bahwa masyarakat Tenganan adalah merupakan imigran dari India kuno karena juga penganut Dewa Indra.
Para imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh, kemudian mengembangkannya secara independen di Tenganan. Adapun kemungkinan lainnya adalah, para imigran tersebut menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Nusantara.
Kain Tenun Gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat. Proses pembuatannya memerlukan waktu 2-5 tahun, bahkan ada yang 10 th. Umumnya, masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara khusus.
Kata Gringsing berasal dari kata ‘gring’ yang artinya ‘sakit’ dan ‘sing’ yang artinya ‘tidak’. Sehingga bila keduanya digabungkan artinya menjadi ‘tidak sakit’. Oleh karena itu Kain tenun Gringsing diyakini mempunyai kekuatan mistis sebagai penolak bala.
Sebagai catatan, di Bali, berbagai upacara seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lainnya dilakukan dengan bersandar pada kekuatan Kain Tenun Gringsing ini.
1. Pakaian Adat suku Rote
Suku Rote di Nusa Tenggara Timur mendiami Pulau dengan nama yang sama dengan nama sukunya yaitu Pulau Rote. Pakaian yang mereka kenakan merupakan hasil tenunan sendiri yang menggunakan bahan serat gewang. Mereka juga menggunakan pewarna alami untuk bahan kain tenunnya.
Para pria di suku Rote biasanya mengenakan pakain kemeja putih yang dipadukan dengan sarung tenun sebatas betis. Lalu menggunakan selempang dari kain tenun dan hafa berupa kain tenun yang dililit di pinggang. Tak lupa akesoris berupa topi ti’ilangga, habas berupa kalung, dan juga golok.
Sedangkan para kaum wanita mengenakan kain tenun yang dipakai seperti kemben dan bagian bawah menggunakan tenun ikat. Pada bahu kiri dilempangkan kain tenun, lalu pendi berupa ikat pinggang terbuat dari perak atau emas. Lalu hiasan kepala bulak moti atau bulan baru dan habas berupa kalung.
Sejarah Tenun Troso
Desa Troso, terletak 15 km ke arah tenggara dari pusat kota Jepara. Dari sinilah proses perkembangan sentra industri tenun berawal, berkembang dan mengalami pasang surut dari tahun ke tahun. Menurut legendanya, sejarah Kain Tenun Troso dimulai saat masuknya Agama Islam di wilayah Jawa tengah dan sekitarnya. Yaitu pada masa berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Kain ini dipakai pertama kali oleh Mbah Senu dan Nyi Senu saat menemui Ulama Besar Mbah Datuk Gunardi Singorojo saat sedang berdakwah di Desa Troso. Kemudian pada masa awalnya kain tenun ini dibuat khusus sebagai pelengkap pakaian raja. Sejak saat itulah keterampilan membuat kain tenun troso dimiliki oleh warga Desa Troso dan diwariskan secara turun temurun.
Pada sekitar tahun 1935, sebelum masa kemerdekaan Indonesia, para pengrajin Tenun Troso membuat Kain Tenun Gedong. Kemudian saat keahlian mereka semakin berkembang, mereka mulai membuat kain Tenun Pancal, yaitu pada sekitar tahun 1943.
Pada saat tahun 60-an terjadi sebuah perkembangan signifikan pada industri tenun di daerah ini. Dimana saat itu para perajin tenun secara besar-besaran mulai beralih menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) menggantikan alat tenun tradisional. Produksi kain tenun lurik, mori dan sarung ikat mengalami perkembangan pesat secara jumlah maupun kualitas.
Saat itu adalah masa keemasan dan kejayaan Kain Tenun Troso. Namun pada akhir tahun 70-an industri tenun Troso mulai mengalami kelesuan ekonomi. Banyak perusahaan tenun mengalami gulung tikar. Peristiwa ini diakibatkan karena mulai berdirinya perusahaan tenun besar di Indonesia yang menggunakan Alat Tenun Mesin (ATM).
Pengrajin tradisional tak mampu bersaing dalam hal harga sehingga industri tenun tradisional tidak berkembang dan bahkan banyak mengalami kebangkrutan.
Pada awal tahun 80-an, industri Tenun Troso sempat mengalami kebangkitan. Unit-unit usaha di pedesaan sempat tumbuh kembali. Produksi tenun tradisional Troso muncul kembali di pasaran.
Tags: tenun