Mengenal Kain Tenun Lurik - Seni dan Kerajinan DIY
Ragam Motif dan Corak Kain Lurik
Sedangkan beberapa motif lurin antara lain ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dan beberapa motif –motif baru seperti yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, motif hukan gerimis, dam mimi, galer dan sebagainya.
Nah, demikianlah artikel tentang mengenal kain lurik, si cantik bergaris dari pulau Jawa ini. kain lurik merupakan pakaian ciri khas Yogyakarta disejajarkan dengan kain batik. keberadaan kain lurik ini sudah menjadi bagian dari sejarah masyarakat Jogjakarta khususnya.
Untuk artikel seanjutnya kita akan membahasn perkembangan kain lurik dari masa ke masa. semoga informasi tersebut dapat menambah wawasan anda tentang kain lurik khas jogjkarta. mulai sekarang cintailah produk-produk dalam negeri. Semoga bermanfaat!
Sejarah Kain Lurik
Namun, seiring berjalannya waktu, penggunaan kain lurik semakin meluas ke masyarakat umum. Kain ini menjadi populer karena bahan yang digunakan mudah didapatkan dan harganya terjangkau. Selain itu, motif dan warna yang dihasilkan juga memperlihatkan keunikan dan keindahan tersendiri.
Kain lurik juga memiliki nilai filosofis dan simbolis yang tinggi dalam kebudayaan Indonesia. Misalnya, ada beberapa daerah di Indonesia yang menggunakan kain lurik sebagai lambang identitas budaya. Seperti di Yogyakarta, lurik menjadi salah satu warisan budaya dan menjadi simbol khas dari daerah tersebut.
Saat ini, kain lurik tidak hanya digunakan sebagai pakaian tradisional, tapi juga sebagai bahan untuk membuat berbagai macam aksesoris, tas, hingga produk interior rumah. Hal ini menunjukkan bahwa kain lurik masih terus eksis dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang patut dilestarikan.
Sejarah Kain Lurik
Berdasarkan Ensiklopedia Nasional Indonesia, kain lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa. Kain lurik ini tidak hanya dipakai oleh masyarakat pedesaan saja, melainkan dipergunakan pula di dalam lingkungan keraton. Tentu saja, motif lurik yang dipergunakan untuk kalangan bangsawan berbeda dengan yang dipakai oleh rakyat jelata. Begitu pula motif yang dipakai untuk upacara adat, kain yang dikenakan juga disesuaikan dengan waktu serta tujuan upacara tersebut.
Pada awal mula pembuatannya, kain lurik dibuat dalam bentuk selendang dipakai untuk kemben ataupun alat untuk menggendong. Motifnya pun cukup sederhana berbentuk garis-garis dengan warna hitam dan putih ataupun perpaduan di antaranya. Dari beberapa situs peninggalan sejarah, kain lurik bahkan sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Relief pada Candi Borobudur pun menggambarkan keberadaan penenun kain lurik dengan alat tenun gendong.
Seiring perkembangan zaman, kain lurik pun mulai dijadikan pakaian untuk pria atau dikenal dengan beskap dan digunakan sebagai jarik atau kebaya pada wanita. Pada saat ini, kain lurik bahkan dijadikan busana sehari-hari di beberapa daerah.
Sentra Tenun Lurik Tlingsing
Sepanjang jalan menuju Tlingsing, tak satupun kendaraan roda empat yang saya temui. Motor pun hanya 1-2 saja yang lewat. Jadi, santai saja kalau datang ke sini. Karena meskipun lebar jalannya hanya muat satu mobil saja, namun tak ada mobil lain yang akan berpapasan dengan kita. Namun hati-hati, jangan sampai salah jalan. Putar baliknya agak PR yaaa… mengingat saking sempitnya jalan. Selain itu, lebih baik matikan GPS dari ponsel karena sinyal tak mau bersahabat dengan kita di lokasi ini. Mending gunakan GPS yang lain, yaitu ‘Gunakan Penduduk Setempat’.
Melewati jalan-jalan sempit di Tlingsing, di kanan-kiri jalan, kita akan disuguhi pemandangan area persawahan yang luas. Hanya sayang, waktu itu para petani tampaknya baru saja melakukan panen raya, sehingga saya tak menjumpai hamparan persawahan yang hijau selain batang-batang padi yang menguning habis dipotong. Tak terlihat juga para petani yang sibuk menjaga sawah, hanya saja terlihat 2-3 orang yang sedang membajak sawah dengan menggunakan hand tractor.
Baru beberapa langkah saja memasuki area perumahan warga di desa ini, saya sudah disambut dengan suara dag-dog-dag-dog yang berasal dari alat tenun ATBM. Suara itu terdengar sayup-sayup namun seolah bersahut-sahutan. Rupanya, jam-jam segini, merupakan jadwal menenun bagi warga desa ini. Padahal tadinya saya sempat berpikir, tak akan bisa menjumpai warga yang sedang menenun karena sudah terlalu siang sampai di sini. Tapi ternyata, banyak warga yang tengah bekerja dengan alat tenun ATBM-nya. Saya sempatkan diri untuk mengetuk pintu ke Pak RT (yang menemui Bu Widodo, istrinya). dan darinya saya mendapat informasi bahwa di wilayah inilah paling banyak jumlah penenunnya di banding desa lain di Klaten.
Motif Tumbar Pecah
Motif Tumbar Pecah diibaratkan orang memecah ketumbar dan seharum aroma ketumbar. Motif ini digunakan untuk upacara tingkeban atau mitoni dengan maksud agar kelahiran berjalan dengan lancar semudah orang memecah ketumbar, ibu dan anak dalam keadaan selamat serta anak menjadi anak yang berguna dan harum namanya.
Motif Udan Liris artinya hujan gerimis. Di Jawa, ada suatu keyakinan bahwa hujan mengandung konootasi mendatangkan kesuburan. Tak heran jika kemudian motif ini melambangkan kesuburan dan kesejahteraan.
Motif udan liris merupakan salah satu corak yang dipakai penguasa dengan harapan si pemakai diberkati oleh Yang Maha Kuasa dan membawa kesejahteraan bagi para pengikutnya.
Tags: tenun