Seni Tenun Klaten - Warisan Budaya dan Kreativitas DIY
Alamat Alun-Alun Klaten
Alamat Alun-Alun Klaten di Jl. MH. Thamrin, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Rute menuju Alun-Alun Klaten sangat mudah untuk dituju, baik itu oleh kendaraan roda dua, roda empat, angkutan kota, hingga ojeg online. Mau menggunakan aplikasi google maps juga bisa.
Dari Patung Tenun Lurik Klaten jarak ke Alun-Alun Klaten kurang dari 3 km saja, dan dapat ditempuh dengan estimasi waktu sekitar 7 menit. Sebelum tiba di Alun-Alun kamu akan melewati Gedung DPRD dan Kantor Bupati Klaten terlebih dahulu.
Di pertigaan jalan yang ada Tugu Adipura beloklah ke kiri, terus saja lurus hingga tiba di perempatan jalan kemudian belok ke kanan agar tetap berada di Jl. Pemuda.
Perjalananmu kali ini akan melewati Terminal Bis IR. Soekarno dan Graha Bung Karno. Terus saja lurus agar tiba di Jl. Diponegoro, di lampu merah Masjid Agung Al Aqsha belok ke kiri.
Sebelum tiba di Alun-Alun Klaten kamu akan melewati Monumen Juang 45, Taman Lampion, Pusat Perbelanjaan di Klaten, dan Masjid Raya Klaten. Lokasi Alun-Alun Klaten berada tepat di samping masjid raya.

Bengkel lurik ATBM milik Rahmad
Sementara itu, pintu rumah Rahmad tertutup rapat. Sepi dari luar, tapi terdengar ramai di dalam. Rasa penasaran menuntun saya mendatangi sumber suara. Seorang perempuan yang sedang membawa semangkok lauk masuk ke dalam rumah. Ia yang mendengar suara saya kemudian datang menghampiri. Memperkenalkan diri sebagai warga asli Klaten, saya diijinkan masuk mengambil gambar sembari menyaksikan proses pembuatan tenun lurik Pedan.
Sejarah panjang hadirnya tenun lurik Pedan tidak terlalu diangkat dalam panggung industri pariwisata. Sumber Sandang adalah salah satu bagian dari sejarah kejayaan tenun lurik Pedan–Klaten. Meski bukan konglomerat, Rahmad adalah pengusaha senior yang masih bertahan dengan bisnis lurik menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Pria kelahiran 17 Agustus 1932 ini memiliki riwayat panjang layaknya seorang pahlawan veteran yang tak ingin dikenal. Tak lama mengambil gambar di bengkel tenun luriknya, Rahmad datang dengan menuntun sepedanya.
Sebagai lulusan ilmu sejarah Universitas Indonesia, Rahmad bertutur tentang riwayat tekstil Indonesia tanpa jeda. Ibarat pepatah ‘hidup segan, mati pun tak mau’. Meski banyak usaha tenun lurik bermesin yang menjadi saingan Sumber Sandang, Rahmad tetap teguh mempertahankan bisnis yang dirintis orang tuanya. Selain merawat budaya menenun menggunakan ATBM, Rahmad berkomitmen menyediakan ladang pekerjaan bagi mereka yang berbakat, namun terbatas pada alat.

Rahmad : maestro tenun lurik Pedan
Dari album foto yang diperlihatkan kepada saya, tentu Rahmad bukan sembarang orang yang hanya mengaku sebagai seorang pengusaha kain lurik. Ia kembali membuka identitas dirinya. Rahmad mengaku bahwa sebelum memulai bisnis tenun, ia sempat menabung pengalaman sebagai anggota yang mencetak dan mengedarluaskan tulisan dari penulis-penulis terkenal termasuk Buya Hamka (penulis Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck) di Panji Masyarakat.
Lebih dari sepuluh pekerja dengan rata-rata umur di atas lima puluh tahun saya temui. Rahmad tak mengatur jam bekerja di sini. Mereka bekerja secara bebas dengan mengatur jadwal sesuai waktu luang dan keinginan. Salah satu yang saya temui adalah Marsini (60 tahun).
Marsini saat itu sedang menggulung benang-benang yang semrawut di kalengnya. Deretan gigi putih dengan beberapa warna emas melemparkan senyum dan sapaan ramah kepada saya. Ibu dengan empat anak ini berprofesi utama sebagai petani. Belum lama ini, Marsini baru selesai memanen padi-padinya. Sementara menjadi pengrajin lurik di rumah Rahmad adalah pekerjaan sampingan saja.
Sabtu adalah hari yang membahagiakan bagi Marsini dan kawan-kawan. Setiap pekannya, mandor tenun lurik akan membagikan upah sesuai dengan jumlah pekerjaan yang sudah dirampungkan. Beberapa lembar uang lima puluh ribu yang diikat karet diterima Marsini dengan senang.
“Alhamdulillah. Nompo gaji (nerima gaji)”. Ia tak malu harus menunjukkan upah mingguannya kepada saya.
Jam istirahat tepat pada pukul 12.00 WIB. Seluruh pekerja yang tadinya beraktivitas kini bergiliran menunaikan solat zuhur. Dibagikan pula sebungkus jamuan makan siang. Dalam rehat yang sebentar, mereka berbincang akrab sembari melempar canda. Agar suasana semakin akrab, saya pun ikut bercanda bersama Endang (40 tahun). Mereka yang melihat Endang dirayu menyeringai tawa menyaksikan kami berdua.

Ke Klaten, Menguak Kisah Kain Tenun Lurik
Klaten (Bahasa Jawa: Klathen) merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah dan boleh dibilang wilayah yang cukup subur karena letaknya memang dekat dengan Gunung Merapi. Secara geografis kota ini diapit oleh dua kota besar bekas Kerajaan Mataram, yaitu Yogyakarta dan Solo. Mungkin saking besarnya potensi kedua kota yang mengapitnya, tak jarang hal ini membuat Klaten hanya dianggap sebagai pupuk bawang atau menjadi daerah yang kurang diperhitungkan bagi kalangan wisatawan. Tapi apa iya, di kota yang konon berasal dari kata “Kelathi” (buah bibir) ini memang benar-benar gak ada destinasi yang menarik?
Hohoho… jangan salah.
Meskipun terhitung kota kecil, Klaten banyak menyimpan potensi destinasi wisata. Ada wisata sejarah, seperti misalnya: Museum Gula, Candi Sewu, Candi Plaosan, Benteng Loji (Fort Engelenburg) dan sebagainya. Jika menyebut wisata alam, maka nama Umbul Ponggok akan langsung berada di urutan teratas. Nah, kalau yang disebut adalah wisata tenun di Jawa Tengah, sudah pasti Klaten-lah yang muncul sebagai juaranya. Ada beberapa sentra tenun lurik yang dapat kita kunjungi. Dan sebagai pemerhati kain tenun, justru alasan terakhir inilah yang membuat saya bersemangat mengeksplor Klaten.

Rahmad dan Sejarah Tenun Lurik Pedan
Pedan masyhur sebagai kawasan penghasil kain tenun lurik. Sejatinya, di kawasan ini tidak hanya lurik yang hidup di atas pegiatnya. Kawasan ini ibarat kota sejarah yang terlupakan. Berdiri di sana sebuah pabrik gula peninggalan Belanda dengan cerobong asap yang menjulang tinggi. Bau ampas tebu menjadi aroma yang khas kala menyeberangi rel kereta.
Sebagai tengara Kecamatan Pedan, dibangun beberapa patung orang menenun yang akan mengarahkan saya menuju salah satu pabrik tenun yang sudah lama berdiri. Saya tersesat ke tempat lurik pabrikan. Saya pun sempat meniliknya sebentar.
Saya mengintip di antara lubang-lubang kaca yang tak banyak aktivitas manusianya. Namun, saya tak tertarik untuk menyaksikan secara intim cara mesin-mesin mahal ini bekerja.
“Pak, kalau lurik yang bukan mesin di sebelah mana ya? Yang buatnya masih pakai tangan?” tanya saya.
“Oh di sana, Mas. Dekat kelurahan. Ini keluar belok kiri. Nanti ada patung dua kembar”, jawab seorang juru parkir yang tak sempat saya tanya namanya.

Tags: tenun