"Keindahan Motif Kain Tenun Toraja - Mempersembahkan Warisan Budaya yang Tak Tergantikan"
Ciri Khas Tenun Gringsing
Sebagai catatan, menurut para ahli kain dan tekstil dunia, Kain tenun Gringsing termasuk kain tenun yang langka. Hanya ada 3 tempat di dunia ini yang mengusai teknik menenun Gringsing, yaitu India, jepang, dan Tenganan (Indonesia).
Seorang pakar kain bernama Urs Ramseyer (1984) yang menulis buku berjudul Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, menduga bahwa masyarakat Tenganan adalah merupakan imigran dari India kuno karena juga penganut Dewa Indra.
Para imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh, kemudian mengembangkannya secara independen di Tenganan. Adapun kemungkinan lainnya adalah, para imigran tersebut menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Nusantara.
Kain Tenun Gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat. Proses pembuatannya memerlukan waktu 2-5 tahun, bahkan ada yang 10 th. Umumnya, masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara khusus.
Kata Gringsing berasal dari kata ‘gring’ yang artinya ‘sakit’ dan ‘sing’ yang artinya ‘tidak’. Sehingga bila keduanya digabungkan artinya menjadi ‘tidak sakit’. Oleh karena itu Kain tenun Gringsing diyakini mempunyai kekuatan mistis sebagai penolak bala.
Sebagai catatan, di Bali, berbagai upacara seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lainnya dilakukan dengan bersandar pada kekuatan Kain Tenun Gringsing ini.
Sejarah Tenun Troso
Desa Troso, terletak 15 km ke arah tenggara dari pusat kota Jepara. Dari sinilah proses perkembangan sentra industri tenun berawal, berkembang dan mengalami pasang surut dari tahun ke tahun. Menurut legendanya, sejarah Kain Tenun Troso dimulai saat masuknya Agama Islam di wilayah Jawa tengah dan sekitarnya. Yaitu pada masa berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Kain ini dipakai pertama kali oleh Mbah Senu dan Nyi Senu saat menemui Ulama Besar Mbah Datuk Gunardi Singorojo saat sedang berdakwah di Desa Troso. Kemudian pada masa awalnya kain tenun ini dibuat khusus sebagai pelengkap pakaian raja. Sejak saat itulah keterampilan membuat kain tenun troso dimiliki oleh warga Desa Troso dan diwariskan secara turun temurun.
Pada sekitar tahun 1935, sebelum masa kemerdekaan Indonesia, para pengrajin Tenun Troso membuat Kain Tenun Gedong. Kemudian saat keahlian mereka semakin berkembang, mereka mulai membuat kain Tenun Pancal, yaitu pada sekitar tahun 1943.
Pada saat tahun 60-an terjadi sebuah perkembangan signifikan pada industri tenun di daerah ini. Dimana saat itu para perajin tenun secara besar-besaran mulai beralih menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) menggantikan alat tenun tradisional. Produksi kain tenun lurik, mori dan sarung ikat mengalami perkembangan pesat secara jumlah maupun kualitas.
Saat itu adalah masa keemasan dan kejayaan Kain Tenun Troso. Namun pada akhir tahun 70-an industri tenun Troso mulai mengalami kelesuan ekonomi. Banyak perusahaan tenun mengalami gulung tikar. Peristiwa ini diakibatkan karena mulai berdirinya perusahaan tenun besar di Indonesia yang menggunakan Alat Tenun Mesin (ATM).
Pengrajin tradisional tak mampu bersaing dalam hal harga sehingga industri tenun tradisional tidak berkembang dan bahkan banyak mengalami kebangkrutan.
Pada awal tahun 80-an, industri Tenun Troso sempat mengalami kebangkitan. Unit-unit usaha di pedesaan sempat tumbuh kembali. Produksi tenun tradisional Troso muncul kembali di pasaran.
Ragam Motif Tenun Troso
Penggunaan ATBM dalam proses pembuatan tenun memang sangat berpengaruh pada penampilan fisik dan motif. Itulah kenapa motif-motif yang dihasilkan pada kain tenun Jepara sangat menarik dan unik. Beragamnya jenis dan motif tenun yang dihasilkan menunjukkan kreatifitas pengrajin tenun di daerah kelahiran RA Kartini tersebut.
Salah satu keunikan Kain Tenun Troso adalah pada motifnya. Selain indah, motif kain tenun ini tidak melulu bernuansakan tradisional, klasik atau etnik. Namun juga citarasa modern dengan motif-motif kontemporernya.
Adapun jenis motif yang biasa ditemukan pada tenun troso yang populer antara lain : misris, blanket, rangrang dan baron. Motif-motif tersebut sangat khas dan tidak ditemukan pada setiap daerah penghasil tenun. Semua dapat di temuan di sentra Tenun Troso dengan proses pembuatan kerajinan yang masih tradisional.
Selain itu, kain tenun troso juga memiliki beberapa motif lainnya seperti : motif krisna, motif ukir, motif rantai, motif mawar, motif bambu, motif burung, motif naga, motif lilin, motif antik, motif cempaka, motif dewi sri, motif kecubung, motif sby, motif obama dan lain-lain.
Banyaknya variasi motif membuat Kain tenun Troso dapat dipergunakan oleh semua khalayak dan pada berbagai acara atau keperluan.
Ragam Motif Tenun Gringsing
Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut tridatu. Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah ‘babakan’ (kelopak pohon) Kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang dicampur dengan kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai warna merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam.
Proses penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada sisi lungsi dan pakan, sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik tenun ikat biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi lungsi hanya berupa benang polos, atau sebaliknya.
1.Batun Tuung
Digambarkan sebagai biji terung dengan ukuran tidak besar. Digunakan sebagai senteng /selendang pada wanita dan sabuk/ikat pinggang tubumuhan pada pria. Motif ini dikabarkan hampir punah.
2.Cecempakaan
Digambarkan sebagai bunga cempaka. Digunakan sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Adapun yang temasuk Gringsing Cecempakaan adalah Cecempakaan Putri, Geringsing Cecempakaan Pat Likur (ukuran 24 benang) dan Cecempakaan Petang Dasa (ukuran empat puluh).
3.Cemplong
Digambarkan sebagai bunga besar di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang menjadi cemplong. Gringsing Cemplong digunakan sebagai busana adat dan upacara keagamaan.
Jenis Gringsing Cemplong meliputi: senteng/anteng (busana di pinggang wanita), ukuran Pat Likur (24 benang) dan ukuran Petang Dasa (40 benang). Motif ini hampir punah.
4.Gringsing Isi
Digambarkan sebagai motif yang semuanya berisi/penuh. Tidak ada bagian kain yang kosong. Motif ini digunakan hanya untuk sarana upacara. Hanya terdapat dalam satu ukuran, yaitu ukuran Pat Likur (24 benang).
4.Lubeng
Digambarkan sebagai hewan kalajengking. Digunakan sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Motif Lubeng meliputi: Lubeng Luhur, yang berukuran paling panjang. Digambarkan sebagai tiga bunga berbentuk kalajengking yang masih utuh
Mengulas Sejarah Kain Tenun Toraja
Awal mulanya, sejarah kain tenun Toraja memang sulit diketahui. Tidak ada bukti-bukti pendukung yang mampu menjelaskan tentang perkembangannya hingga sekarang. Seperti proses tenunnya, alat yang digunakan, serta metode pewarnaan maupun pembuatan coraknya di zaman dahulu.
Tenun Toraja sendiri dulunya terbuat dari serat kayu. Seiring dengan berjalannya waktu, material yang digunakan beralih ke serat nanas. Konon, hasil kainnya banyak dimanfaatkan untuk membungkus mayat. Mengingat sifat kainnya yang memiliki daya serap cukup baik.
Masyarakat belum mengganti keseluruhan bahan baku kain kain tenun. Melainkan memadukan bahan terdahulu yakni serat nanas dengan campuran kapas. Sehingga hasil kainnya pun lebih halus dan nyaman untuk mereka kenakan. Dalam ulasan sejarah kain tenun Toraja, masyarakat zaman dahulu begitu menghargai karya ini.
Bahkan tenun yang dihasilkan juga menjadi lambang status sosial, serta ukuran kemakmuran bagi para pemiliknya. Sehingga dahulu kala, hanya kalangan bangsawan yang bisa memakai kain tenun Toraja. Penggunaannya pun terbatas untuk acara-acara tertentu, seperti pernikahan, upacara adat kerajaan dan Rambu Solo’.
Tags: tenun motif toraja