... Mengetahui Lebih Lanjut Tentang Tenun Ikat Ina Sabu: Panduan Langkah-demi-Langkah

Seni Tenun Ikat Ina Sabu - Keindahan dan Keterampilan dalam Kerajinan Tangan

Sejarah dalam Pakaian Adat Sawu

Genevieve begitu terpikat pada pakaian mereka. Orang Sawu berpakaian tenun ikat dengan beragam ornamen. Dan tiap kelompok penduduk memiliki motif masing-masing. Terdorong minat dan rasa ingin tahu, Genevieve mengumpulkan informasi tentang tenun ikat orang Sawu. Dia tinggal bersama orang Sawu, mempelajari sejarah, budaya, dan bahasa mereka. "Tantangan paling besar adalah orang Sawu lebih lekat dengan tradisi lisan ketimbang tulisan. Dan lagi-lagi catatan tentang mereka masih sedikit," kata Genevieve. Tapi dia tak mau menyerah. Ketekunan Genevieve selama delapan tahun berbuah tesis antropologi berjudul "Ikat Weavings and The Social Organisation on the Island of Savu, Eastern Indonesia", di Universitas Heidelberg, Jerman, pada 1998. Melalui tesisnya, Genevieve berkesimpulan, "Kain tenun ikat dan motifnya mengungkapkan pesan yang bisa dibaca sebagai sebuah teks." Sebab orang Sawu tak memukimkan ingatannya di lembaran kertas, melainkan di dalam kain.

"Orang Sawu percaya motif itu yang paling tua dan bertahan hingga sekarang," tulis Wanda Warming dan Michael Gaworski dalam The World of Indonesian Textiles. Penduduk lokal punya cara untuk mencipta motif pada kain jauh sebelum orang Eropa mengenal teknik ini. Mereka mengikat benang (tali wangngu) pada alat tenun (langa tali). Orang Eropa menyebutnya teknik ikat. "…diperkenalkan di Eropa oleh Prof. A.R. Hein pada 1880," tulis Suwati Kartiwa dalam Tenun Ikat. Sedangkan warna diperoleh dengan mencelup benang (pallo wangngu) pada periuk tanah liat (arru pallo). Tak semua penduduk bisa mengerjakan dua teknik itu secara sempurna. Perlu tempaan khusus dan waktu lama. Tugas itu jatuh ke perempuan. Maka perempuan Sawu belajar menenun sejak kecil. Hampir semua tenun ikat Sawu berasal dari perempuan dan bercerita tentang hidup mereka.

Makna di Balik Motif

Perempuan Sawu terbagi atas dua klan matrilineal (hubi) besar. Ceritanya bermula dari lomba menenun moyang orang Sawu, yaitu dua saudari sekandung, Muji Babo (kakak) dan Lou Babo (adik). Waktunya tak pasti. Sekira 40 generasi lampau. Yang jelas, lomba itu berujung pertengkaran. Masing-masing mempertahankan keunggulan motif utamanya. Motif utama (hebe) Muji Babo berciri persegi, geometris, tiga buah belah ketupat (wokelaku), dan berwarna lebih terang. Lou Babo punya motif utama lebih rumit. Berupa garis-garis bergelombang (ei ledo) dengan warna lebih gelap. Kemudian dua saudari itu berketurunan. Keturunan Muji Babo membentuk klan Bunga Palem Besar (hubi ae). Dari garis Lou Babo muncul klan Bunga Palem Kecil (hubi iki). Dua klan itu terpecah lagi menjadi beberapa benih (wini), sekira 20 generasi lampau. Yang berasal dari hubi ae antara lain wini D’ila Robo, Ga Lena, Pi’i, Mako, Migi, dan Raja. Sementara dalam hubi iki ada wini Jawu, Wara Tada, dan Pu Tenga. Semua wini itu terbagi lagi atas sub-sub wini. Ragam hias semua wini hampir serupa, terbagi atas beberapa bagian seperti medi ae (baris hitam lebar), ehu (pusat motif), juli ngiu (motif kecil), raja (tenun lungsi tambahan), beka (sambungan tengah), henga (jarak kosong pada akhir baris ikat), dan wurumada (ujung atas dan bawah). Tapi motif utamanya bisa berbeda antara satu wini dengan lainnya. Bahkan antar sesama wini. Tergantung cerita moyang mereka.

Motif wini Ga Lena, misalnya, berasal dari pengalaman D’illa Tededari Mesara dan D’illa Nawadari Dimu. Mereka hidup pada masa pendudukan Portugis abad ke-16. Mereka mengunjungi Solor (Flores Timur) untuk membantu raja setempat. Dinilai berjasa, mereka beroleh keranjang pusaka yang berukir ornamen lokal. Mereka merekacipta ornamen itu dalam tenun saat kembali ke Sawu. Sebutan ornamen itu kobe morena.


Tags: tenun ikat

`Lihat Lagi
@ 2024 - Tenun Indonesia